.:.BISMILLAH....ASSALAMU'ALAIKUM....WELCOME TO THE COSTEAM2007 WORLD.:.

Kamis, 25 September 2008

Ruang Psikologi Qt

MASA REMAJA
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Lilly H. Setiono menyampaikan bahwa Elliot Turiel (1978) mengatakan, para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, dogmatis dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.
Persoalan moral tidak hanya berkaitan dengan norma agama , susila, dan budaya melainkan juga sistem nilai moral yang dianut oleh masyarakat luas (baca: bangsa). Remaja mulai mempertanyakan kembali mengenai kebenaran suatu pemikiran yang ada dan
mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Kebenaran tidak lagi menjadi sesuatu yang disampaikan. Dalam tahap ini remaja mampu membandingkan apa yang selama ini diterima dengan “kenyataan” lain yang memiliki kebenaran tersendiri. Sudut pandang tentang kehidupan tidak lagi didominasi oleh orangtua. Remaja akan melihat bahwa banyak aspek (sudut pandang) yang dapat ia gunakan dalam melihat kehidupan.
Lilly menambahkan bahwa kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang dimulai saat melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara sesuatu yang telah dipercayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Remaja kemudian merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima. Misalnya, sejak kecil diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja.
Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari keadaan (mood) “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (suasana hati) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah .
Remaja –melalui berpikir kritis- akan mencoba untuk memposisikan dirinya di tegah-tengah masyarakat. Melalui kesadaran diri (self-awareness) terhadap fungsi dan peran yang harus dilakukan dalam masyarakat. Kepribadian dan emosional remaja merupakan sebuah refleksi dari lingkungan sosialnya. Terlepas apakah lingkungan sosial remaja tersebut mampu ataupun tidak dalam menyaring perilaku-perilaku yang buruk.
Kebenaran-kebenaran “lain” yang terdapat dilingkungan sosial akan mempengaruhi cara berpikir remaja terhadap kebenaran yang ia miliki. Sikap menolak, menerima bahkan beradaptasi dengan perubahan didasarkan pada pemikiran dan perasaan senang yang bersifat subyektif. Remaja akan merefleksikan antara apa yang ingin dirasakan dengan kenyataan sosial. Bentuk-bentuk gesekan ini kemudian dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai proses pencarian jati diri.
Perhitungan-perhitungan mengenai akibat dari suatu perbuatan tidak lagi berdasarkan nilai-nilai norma yang pernah didapat. Bahkan, akibat-akibat tersebut tertutupi oleh subyektifitas remaja terhadap cara pandang yang dimiliki tentang makna “kehidupan”. Hal ini berangkat dari nilai-nilai yang pernah diberikan secara searah, dogmatis dan tidak partisipatif, sehingga tidak terdapat proses internalisasi nilai-nilai norma dalam diri remaja.
Sikap-sikap pencegahan oleh masyarakat tidak lagi dapat mengikat kuat. Bukan –sekedar- karena remaja akan melakukan pembelaan diri terhadap apa yang ia lakukan, namun pendidikan modern telah menghegemoni pemikiran masyarakat bahwa hal ini merupakan sebuah keadaan yang memang wajar dialami. Seakan masa remaja adalah masa “mencoba” segala sesuatu yang baru dan sebagai proses pencarian jati diri. Hegemoni disiplin ilmu modern membentuk pola pikir masyarakat mengenai proses “pencarian jati diri” yang sedang dan harus dilewati setiap remaja. Mempersepsikan remaja bukan dalam sosok jati diri, melainkan gambaran jiwa yang penuh dengan kegamangan dalam bersikap, emosional dan kerancuan berpikir.
Akhirnya solusi-solusi yang ditawarkan lebih terjebak pada teori-teori yang cenderung kurang aplikatif. Tingkat solidaritas tidak lagi solidaritas mekanis namun telah berubah menjadi solidaritas organik . Modernitas menempatkan peran orang tua hanya dipahami sebagai pemberi nafkah dan just say hello bila menjelang makan siang dan tidur malam. Guru hanya diposisikan sebagai pengajar dan bukan pendidik. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa sepenuhnya menjadi tanggungjawab siswa dan posisi guru bukanlah posisi yang dapat dipersalahkan.
Menempatkan remaja sebagai objek bukanlah sebuah sikap yang tepat. Remaja merupakan idividu sebagai sub-subyek tersendiri yang berada diluar subyek, dalam hal ini lingkungan (keluarga, masyarakat dan negara). Hubungan inter-subyek akan menumbuhkan suatu komunikasi yang komunikatif. Tidak bersifat sepihak apalagi searah. Maka, posisi objek yang sebenarnya ialah pada persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh remaja dan lingkungan.
Erich Fromm menyatakan dalam bukunya The Heart Man (1966) bahwa pendidikan yang memandang orang sebagai objek hanya akan menghasilkan sifat manusia yang disebut necrophily (cinta benda mati), dan tidak menumbuhkan sifat biophlly (cinta kehidupan). Fromm juga mengatakan bahwa orang yang dihinggapi necrophily hanya cinta akan segala sesuatu yang tidak bertumbuh dan segala sesuatu yang bersifat mekanis (materialisme). Padahal ciri khas kehidupan manusia adalah pertumbuhan fungsional yang teratur .
Norma agama , susila, budaya dan pendidikan tidak mampu mengarahkan remaja untuk peduli lingkungan sosial. Remaja lebih senang dan tenang untuk hidup dengan “kemapanan” yang dimiliki. Enggan menciptakan ruang dialektika untuk membantu masyarakat marjinal dan tertindas. Hidup –yang dipahami sebagian besar remaja- menjadi begitu linier. Lahir, kanak-kanak, sekolah, kuliah, nikah, kerja, ibadah kemudian meninggal. Remaja perlu bertanya, bagaimana ia meyakinkan dirinya layak disebut manusia?
Konflik nilai akan mengantarkan remaja dalam tiga tipe karakter diri. Pertama, karakter yang tidak mudah menyerah untuk meewujudkan kebenaran yang ia yakini. Kedua, karakter yang tetap dan menjaga kemapanan yang dimiliki serta mengikuti alur kehidupan yang ditentukan oleh lingkungan; meskipun ia tahu bahwa tidak semua yang berasal dari lingkungan adalah benar. Ketiga, sebuah karakter destruktif yang memandang masyarakat sebagai pengekang ekspresif dan tidak memiliki nilai yang dipegang selain kebebasan individu dalam berkehendak.
Sadar ataupun tidak, remaja akan memasuki pilihan-pilihan yang tidak terlepas dalam kerangka kategori tersebut. Ketika ia tidak memilih, maka sesungguhnya ia telah memilih berdasar kecenderungan perilaku yang ia tunjukkan. Konflik nilai akan mengarah pada internalisasi nilai yang mendalam. Namun, bukan berarti tidak bisa berubah. Realita sosial bukan alur sejarah yang berjalan linier. Tiap kondisi dan pengalaman yang dialami dapat merubah dan membentuk karakter seorang remaja.. Permasalahannya kemudian adalah, apakah perubahan itu memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat. Wallahu A’lam bi Showab.
*) Sebagian besar artikel merupakan ringkasan dari artikel lomba Islamic Psychology Competition yang penulis kirim ke Fak. Psikologi Universitas Indonesia. Dan disusun guna Pengajian Mahasantri Pondok Hajjah Nurriyah Shobron pada tanggal 14 Maret 2006.


Oleh : Gina Al Ilmi
Pandora Psikologi Remaja
Pebruari 3 2008

Tidak ada komentar:

 
.:.ALHAMDULILLAH....WASSALAMU'ALAIKUM....THX DAH BACA.:.